Text Practice Mode
Cerpen Panjang
created Yesterday, 05:54 by MaulanaYusup1
0
1101 words
5 completed
0
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Di pagi yang sunyi, seorang pria bernama Arga berjalan menyusuri jalan setapak di pinggiran kota. Kabut tipis menutupi permukaan sungai, membentuk bayangan samar dari pepohonan di sekitarnya. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena jarak, tapi karena beban pikirannya sendiri.
Rumah tua di ujung jalan tampak sepi, dikelilingi pagar yang sudah berkarat. Arga menatapnya lama, seakan mengenang masa lalu yang telah lama terkubur. Angin membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur, membangkitkan perasaan nostalgia yang campur aduk di hatinya.
Ia melewati jembatan kayu yang retak, mendengar suara air mengalir deras di bawahnya. Bunyi itu menenangkan, meski hatinya tetap gelisah. Arga merasa seolah arus sungai membawa semua beban hidupnya menjauh, membiarkannya sejenak merasa ringan.
Di seberang sungai, hamparan ladang hijau terbentang luas. Rumput bergoyang lembut tertiup angin, dan sinar matahari mulai menembus kabut pagi. Pemandangan itu menyuntikkan ketenangan yang lama ia rindukan, memberi ruang untuk bernapas setelah minggu-minggu yang melelahkan.
Ia terus berjalan, menapaki jalan tanah yang menanjak. Setiap langkah menuntunnya ke sebuah bukit kecil, di puncaknya terdapat pohon tua yang rindang. Arga duduk di bawah pohon itu, membiarkan sinar matahari menghangatkan wajahnya. Keheningan mengelilinginya, seakan alam sendiri berbicara tanpa kata.
Sejak beberapa bulan terakhir, hidupnya dipenuhi kebingungan dan tekanan. Tumpukan pekerjaan, tanggung jawab keluarga, dan keraguan pribadi bercampur menjadi satu. Namun di sini, di bawah pohon tua ini, semua terasa jauh, hampir seperti mimpi.
Ia menatap langit biru, di mana burung-burung terbang bebas. Pergerakan mereka yang lincah memberi inspirasi diam-diam. Arga merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya—kebebasan, atau mungkin rasa percaya pada diri sendiri yang pernah ada.
Seiring matahari naik, cahaya semakin terang dan hangat. Arga merasakan energi baru mengalir dalam tubuhnya. Ia menutup mata sejenak, mendengar suara daun yang bergesekan, dan aroma tanah yang lembap. Semua itu menjadi pengingat sederhana bahwa hidup terus berjalan, meski terkadang berat.
Ia bangkit perlahan, menapaki jalan menurun. Setiap langkah kini terasa lebih ringan, meski perjalanan hidupnya masih panjang. Arga menyadari bahwa meski ia tidak bisa menghapus semua masalah, ia bisa memilih cara menyikapinya dengan hati yang lebih tenang.
Di ujung jalan, sebuah rumah kecil dengan kebun bunga menanti. Warna-warni bunga di depan rumah itu tampak cerah, seakan memberi salam hangat kepadanya. Arga tersenyum tipis, menyadari bahwa kebahagiaan terkadang hadir dalam bentuk yang sederhana.
Ia duduk di bangku kayu, menatap bunga-bunga yang bergoyang lembut tertiup angin. Perasaan damai mengalir, dan ia mulai menata rencana kecil untuk masa depannya. Semua yang terjadi, semua tantangan, kini terasa lebih mudah diterima.
Sore menjelang, langit berubah menjadi warna jingga keemasan. Arga berdiri, menarik napas panjang, dan melangkah pulang. Hatinya lebih ringan, pikiran lebih jernih, dan langkahnya lebih mantap. Ia tahu perjalanan hidupnya belum selesai, tapi ia siap melanjutkannya dengan ketenangan baru yang ia temukan hari itu.
Di pagi yang hening, Arga menapaki jalan setapak di pinggiran kota. Kabut tipis menyelimuti sungai yang mengalir lambat, menimbulkan bayangan samar dari pepohonan di tepiannya. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena medan, tetapi karena beban pikirannya sendiri yang menumpuk dalam diam.
Rumah tua di ujung jalan tampak sunyi. Pagar besi yang berkarat mengelilinginya, sementara atap genteng yang retak menandakan usia yang panjang. Arga menatapnya lama, seolah mengenang masa lalu yang tak bisa kembali. Aroma tanah basah dan daun yang gugur menerpa hidungnya, membawa nostalgia yang hangat sekaligus menusuk hati.
Jembatan kayu yang ia lewati retak di beberapa bagian. Suara air mengalir deras di bawahnya seperti bisikan alam yang menenangkan. Arga berhenti sejenak, membiarkan suara itu menyapu gelisah yang menumpuk dalam dirinya. Arus sungai seakan membawa sebagian besar beban hidupnya pergi, meski hanya sesaat.
Di seberang sungai, ladang hijau terbentang luas, dengan rerumputan yang bergoyang lembut tertiup angin pagi. Cahaya matahari mulai menembus kabut, menyorot dedaunan yang berkilau. Pemandangan itu membawa ketenangan yang lama ia rindukan, memberi ruang untuk bernapas dan memikirkan hal-hal sederhana yang sering terabaikan.
Arga terus berjalan menapaki jalan tanah yang menanjak. Di puncak bukit kecil, sebuah pohon tua berdiri kokoh, cabang-cabangnya merentang luas. Ia duduk di bawah pohon itu, membiarkan sinar matahari hangat menembus celah-celah dedaunan. Keheningan mengelilinginya, memberi ruang untuk merenung tanpa gangguan dunia luar.
Bulan-bulan terakhir dipenuhi kebingungan dan tekanan. Tumpukan pekerjaan, tanggung jawab keluarga, dan ketidakpastian masa depan bercampur menjadi satu. Namun di bawah pohon tua itu, semua terasa jauh, seolah masalah hidupnya hanyalah bayangan yang bisa diabaikan sejenak.
Arga menatap langit biru, melihat burung-burung yang terbang bebas. Gerakan mereka yang lincah memberi inspirasi tanpa kata, seolah mengingatkan bahwa kebebasan adalah hak setiap makhluk. Ia merasakan sesuatu yang hilang dalam dirinya, rasa percaya dan keberanian yang dulu pernah dimilikinya.
Sinar matahari semakin hangat saat pagi berganti siang. Arga menutup mata, mendengar suara daun yang bergesekan dan aroma tanah yang lembap. Alam berbicara tanpa kata, menyampaikan pesan sederhana: bahwa hidup terus berjalan, dan ketenangan bisa ditemukan jika hati bersedia menerima.
Ia berdiri perlahan dan melanjutkan perjalanan menurun bukit. Langkahnya kini lebih ringan, meski jalan hidupnya masih panjang dan penuh tantangan. Arga menyadari bahwa masalah tidak akan hilang, tetapi cara ia menyikapinya dapat mengubah beban menjadi pengalaman yang membangun.
Di ujung jalan, ia menemukan rumah kecil dengan kebun bunga yang rapi. Warna-warni bunga menyambutnya dengan hangat. Arga tersenyum tipis, menyadari bahwa kebahagiaan bisa hadir dalam bentuk yang sederhana, dan terkadang hal kecil bisa mengubah pandangan hidup seseorang.
Ia duduk di bangku kayu di depan rumah, menatap bunga-bunga yang bergoyang lembut tertiup angin. Perasaan damai meresap ke dalam dirinya. Ia mulai menyusun rencana-rencana kecil untuk masa depan, menyadari bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, berarti.
Sore menjelang, langit berubah menjadi jingga keemasan. Arga berdiri, menghirup udara segar, dan menatap langit yang luas. Ada perasaan lega dan ringan yang belum pernah ia rasakan dalam beberapa bulan terakhir. Ia merasa siap menghadapi apapun yang datang dengan hati yang lebih tenang.
Malam mulai turun perlahan. Suara jangkrik dan angin malam mengisi keheningan. Arga berjalan pulang, langkahnya mantap, namun kini hatinya tidak terbebani. Ia membawa rasa syukur sederhana: atas hidup, alam, dan kesempatan untuk kembali menemukan ketenangan.
Setibanya di rumah, ia duduk sejenak di teras, menatap langit malam yang penuh bintang. Setiap bintang seolah menjadi pengingat bahwa harapan selalu ada, meski dalam kegelapan sekalipun. Arga menutup mata, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya, dan merasa bahwa ia telah menemukan sedikit pencerahan dalam perjalanan hari itu.
Ia menyadari, hidup bukan tentang menghindari kesulitan, tetapi tentang belajar berdamai dengan diri sendiri dan dunia di sekitarnya. Langkahnya ke depan mungkin tetap berat, tetapi dengan ketenangan yang baru ditemukan, ia siap menapaki hari-hari berikutnya dengan lebih ringan.
Kalau mau, aku bisa buat versi **lebih “literer puitis” dengan detail emosi yang lebih mendalam dan metafora alam**, sehingga ceritanya bisa terasa seperti karya sastra profesional.
Apakah mau dicoba dibuat versi itu?
Rumah tua di ujung jalan tampak sepi, dikelilingi pagar yang sudah berkarat. Arga menatapnya lama, seakan mengenang masa lalu yang telah lama terkubur. Angin membawa aroma tanah basah dan daun yang gugur, membangkitkan perasaan nostalgia yang campur aduk di hatinya.
Ia melewati jembatan kayu yang retak, mendengar suara air mengalir deras di bawahnya. Bunyi itu menenangkan, meski hatinya tetap gelisah. Arga merasa seolah arus sungai membawa semua beban hidupnya menjauh, membiarkannya sejenak merasa ringan.
Di seberang sungai, hamparan ladang hijau terbentang luas. Rumput bergoyang lembut tertiup angin, dan sinar matahari mulai menembus kabut pagi. Pemandangan itu menyuntikkan ketenangan yang lama ia rindukan, memberi ruang untuk bernapas setelah minggu-minggu yang melelahkan.
Ia terus berjalan, menapaki jalan tanah yang menanjak. Setiap langkah menuntunnya ke sebuah bukit kecil, di puncaknya terdapat pohon tua yang rindang. Arga duduk di bawah pohon itu, membiarkan sinar matahari menghangatkan wajahnya. Keheningan mengelilinginya, seakan alam sendiri berbicara tanpa kata.
Sejak beberapa bulan terakhir, hidupnya dipenuhi kebingungan dan tekanan. Tumpukan pekerjaan, tanggung jawab keluarga, dan keraguan pribadi bercampur menjadi satu. Namun di sini, di bawah pohon tua ini, semua terasa jauh, hampir seperti mimpi.
Ia menatap langit biru, di mana burung-burung terbang bebas. Pergerakan mereka yang lincah memberi inspirasi diam-diam. Arga merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya—kebebasan, atau mungkin rasa percaya pada diri sendiri yang pernah ada.
Seiring matahari naik, cahaya semakin terang dan hangat. Arga merasakan energi baru mengalir dalam tubuhnya. Ia menutup mata sejenak, mendengar suara daun yang bergesekan, dan aroma tanah yang lembap. Semua itu menjadi pengingat sederhana bahwa hidup terus berjalan, meski terkadang berat.
Ia bangkit perlahan, menapaki jalan menurun. Setiap langkah kini terasa lebih ringan, meski perjalanan hidupnya masih panjang. Arga menyadari bahwa meski ia tidak bisa menghapus semua masalah, ia bisa memilih cara menyikapinya dengan hati yang lebih tenang.
Di ujung jalan, sebuah rumah kecil dengan kebun bunga menanti. Warna-warni bunga di depan rumah itu tampak cerah, seakan memberi salam hangat kepadanya. Arga tersenyum tipis, menyadari bahwa kebahagiaan terkadang hadir dalam bentuk yang sederhana.
Ia duduk di bangku kayu, menatap bunga-bunga yang bergoyang lembut tertiup angin. Perasaan damai mengalir, dan ia mulai menata rencana kecil untuk masa depannya. Semua yang terjadi, semua tantangan, kini terasa lebih mudah diterima.
Sore menjelang, langit berubah menjadi warna jingga keemasan. Arga berdiri, menarik napas panjang, dan melangkah pulang. Hatinya lebih ringan, pikiran lebih jernih, dan langkahnya lebih mantap. Ia tahu perjalanan hidupnya belum selesai, tapi ia siap melanjutkannya dengan ketenangan baru yang ia temukan hari itu.
Di pagi yang hening, Arga menapaki jalan setapak di pinggiran kota. Kabut tipis menyelimuti sungai yang mengalir lambat, menimbulkan bayangan samar dari pepohonan di tepiannya. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena medan, tetapi karena beban pikirannya sendiri yang menumpuk dalam diam.
Rumah tua di ujung jalan tampak sunyi. Pagar besi yang berkarat mengelilinginya, sementara atap genteng yang retak menandakan usia yang panjang. Arga menatapnya lama, seolah mengenang masa lalu yang tak bisa kembali. Aroma tanah basah dan daun yang gugur menerpa hidungnya, membawa nostalgia yang hangat sekaligus menusuk hati.
Jembatan kayu yang ia lewati retak di beberapa bagian. Suara air mengalir deras di bawahnya seperti bisikan alam yang menenangkan. Arga berhenti sejenak, membiarkan suara itu menyapu gelisah yang menumpuk dalam dirinya. Arus sungai seakan membawa sebagian besar beban hidupnya pergi, meski hanya sesaat.
Di seberang sungai, ladang hijau terbentang luas, dengan rerumputan yang bergoyang lembut tertiup angin pagi. Cahaya matahari mulai menembus kabut, menyorot dedaunan yang berkilau. Pemandangan itu membawa ketenangan yang lama ia rindukan, memberi ruang untuk bernapas dan memikirkan hal-hal sederhana yang sering terabaikan.
Arga terus berjalan menapaki jalan tanah yang menanjak. Di puncak bukit kecil, sebuah pohon tua berdiri kokoh, cabang-cabangnya merentang luas. Ia duduk di bawah pohon itu, membiarkan sinar matahari hangat menembus celah-celah dedaunan. Keheningan mengelilinginya, memberi ruang untuk merenung tanpa gangguan dunia luar.
Bulan-bulan terakhir dipenuhi kebingungan dan tekanan. Tumpukan pekerjaan, tanggung jawab keluarga, dan ketidakpastian masa depan bercampur menjadi satu. Namun di bawah pohon tua itu, semua terasa jauh, seolah masalah hidupnya hanyalah bayangan yang bisa diabaikan sejenak.
Arga menatap langit biru, melihat burung-burung yang terbang bebas. Gerakan mereka yang lincah memberi inspirasi tanpa kata, seolah mengingatkan bahwa kebebasan adalah hak setiap makhluk. Ia merasakan sesuatu yang hilang dalam dirinya, rasa percaya dan keberanian yang dulu pernah dimilikinya.
Sinar matahari semakin hangat saat pagi berganti siang. Arga menutup mata, mendengar suara daun yang bergesekan dan aroma tanah yang lembap. Alam berbicara tanpa kata, menyampaikan pesan sederhana: bahwa hidup terus berjalan, dan ketenangan bisa ditemukan jika hati bersedia menerima.
Ia berdiri perlahan dan melanjutkan perjalanan menurun bukit. Langkahnya kini lebih ringan, meski jalan hidupnya masih panjang dan penuh tantangan. Arga menyadari bahwa masalah tidak akan hilang, tetapi cara ia menyikapinya dapat mengubah beban menjadi pengalaman yang membangun.
Di ujung jalan, ia menemukan rumah kecil dengan kebun bunga yang rapi. Warna-warni bunga menyambutnya dengan hangat. Arga tersenyum tipis, menyadari bahwa kebahagiaan bisa hadir dalam bentuk yang sederhana, dan terkadang hal kecil bisa mengubah pandangan hidup seseorang.
Ia duduk di bangku kayu di depan rumah, menatap bunga-bunga yang bergoyang lembut tertiup angin. Perasaan damai meresap ke dalam dirinya. Ia mulai menyusun rencana-rencana kecil untuk masa depan, menyadari bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, berarti.
Sore menjelang, langit berubah menjadi jingga keemasan. Arga berdiri, menghirup udara segar, dan menatap langit yang luas. Ada perasaan lega dan ringan yang belum pernah ia rasakan dalam beberapa bulan terakhir. Ia merasa siap menghadapi apapun yang datang dengan hati yang lebih tenang.
Malam mulai turun perlahan. Suara jangkrik dan angin malam mengisi keheningan. Arga berjalan pulang, langkahnya mantap, namun kini hatinya tidak terbebani. Ia membawa rasa syukur sederhana: atas hidup, alam, dan kesempatan untuk kembali menemukan ketenangan.
Setibanya di rumah, ia duduk sejenak di teras, menatap langit malam yang penuh bintang. Setiap bintang seolah menjadi pengingat bahwa harapan selalu ada, meski dalam kegelapan sekalipun. Arga menutup mata, membiarkan keheningan malam menyelimuti dirinya, dan merasa bahwa ia telah menemukan sedikit pencerahan dalam perjalanan hari itu.
Ia menyadari, hidup bukan tentang menghindari kesulitan, tetapi tentang belajar berdamai dengan diri sendiri dan dunia di sekitarnya. Langkahnya ke depan mungkin tetap berat, tetapi dengan ketenangan yang baru ditemukan, ia siap menapaki hari-hari berikutnya dengan lebih ringan.
Kalau mau, aku bisa buat versi **lebih “literer puitis” dengan detail emosi yang lebih mendalam dan metafora alam**, sehingga ceritanya bisa terasa seperti karya sastra profesional.
Apakah mau dicoba dibuat versi itu?
saving score / loading statistics ...