Text Practice Mode
Gaji Kepala Daerah
created Today, 05:13 by AnakKedua
0
349 words
27 completed
0
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Entah dari mana muasalnya, tiba-tiba mencuat kembali wacana penambahan insentif atau gaji bagi kepala daerah. Katanya, untuk mencegah agar tindak pidana korupsi bisa berkurang.
Wacana itu mencuat saat anggota DPR, Muhammad Khozin, menyatakan usulan penambahan insentif/gaji kepala daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) bukan solusi ideal untuk mencegah tindak pidana korupsi.
Kita menduga, wacana ini muncul karena dalam sepekan saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dua kepala daerah. Keduanya yakni Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko.
Kenapa para kepala daerah tak henti-henti terjerat kasus korupsi? Buat kita, tak ada jawaban lain. Siapapun kepala daerah yang tertangkap penegak hukum karena korupsi, alasannya cuma satu: rakus. Tak ada yang lain.
Jangan sekali-kali menyebut bahwa penghasilan mereka kurang. Mungkin berkurang dibanding pendapatan sebelum jadi kepala daerah. Bisa saja. Tapi itu resiko pilihan. Kalau tahu gaji kepala daerah di bawah pendapatan sebelumnya, kenapa maju dalam kontestasi.
penghasilan kepala daerah sudah terhitung tinggi. Tahun 2012 saja Fitra merilis penghasilan gubernur di Jawa Barat sudah mencapai Rp 7,24 miliar setahun. Rata-rata Rp 603 juta sebulan. Ingat: itu tahun 2012. Tahun-tahun berikutnya, termasuk kini, sangat mungkin terus meningkat. Tertinggi kedua di Indonesia. Hanya kalah dari Jawa Timur.
Jika untuk kehidupan yang normal, bagaimana cara menghabiskan uang Rp 20 juta sehari? Apa yang dimakan? Apa yang dibeli? Untuk kehidupan normal, angka itu tentu sudah sangat memadai.
Jadi, kalau ada kepala daerah, atau wakil kepala daerah, bermain-main dalam rotasi dan mutasi jabatan, maka penyebabnya hanya satu itu: rakus. Tak mungkin mereka menerima suap untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Maka, menjadi betul kata anggota DPR itu, menaikkan penghasilan kepala daerah, bukan solusi untuk mencegah korupsi. Korupsi mencul karena para pejabat tak pernah merasa tercukupi. Padahal penghasilannya sudah berlebihan.
Di tengah momentum perubahan Undang-undang Pilkada, kita mendesak publik untuk mewaspadai pasal-pasal yang mungkin hanya menguntungkan segelintir politisi yang sudah kaya-raya itu. Menjadi kepala daerah itu sebuah kehormatan, tanggung jawab, bukan ajang untuk menimbun harta.
Hanya orang-orang tak bermartabat yang berpesta pora di tengah penderitaan sebagian warganya. Adakah yang begitu? Tak lama lagi, figur-figur itu akan muncul di tengah perbincangan perubahan UU Pilkada. (Inilah Koran)
Wacana itu mencuat saat anggota DPR, Muhammad Khozin, menyatakan usulan penambahan insentif/gaji kepala daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) bukan solusi ideal untuk mencegah tindak pidana korupsi.
Kita menduga, wacana ini muncul karena dalam sepekan saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dua kepala daerah. Keduanya yakni Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko.
Kenapa para kepala daerah tak henti-henti terjerat kasus korupsi? Buat kita, tak ada jawaban lain. Siapapun kepala daerah yang tertangkap penegak hukum karena korupsi, alasannya cuma satu: rakus. Tak ada yang lain.
Jangan sekali-kali menyebut bahwa penghasilan mereka kurang. Mungkin berkurang dibanding pendapatan sebelum jadi kepala daerah. Bisa saja. Tapi itu resiko pilihan. Kalau tahu gaji kepala daerah di bawah pendapatan sebelumnya, kenapa maju dalam kontestasi.
penghasilan kepala daerah sudah terhitung tinggi. Tahun 2012 saja Fitra merilis penghasilan gubernur di Jawa Barat sudah mencapai Rp 7,24 miliar setahun. Rata-rata Rp 603 juta sebulan. Ingat: itu tahun 2012. Tahun-tahun berikutnya, termasuk kini, sangat mungkin terus meningkat. Tertinggi kedua di Indonesia. Hanya kalah dari Jawa Timur.
Jika untuk kehidupan yang normal, bagaimana cara menghabiskan uang Rp 20 juta sehari? Apa yang dimakan? Apa yang dibeli? Untuk kehidupan normal, angka itu tentu sudah sangat memadai.
Jadi, kalau ada kepala daerah, atau wakil kepala daerah, bermain-main dalam rotasi dan mutasi jabatan, maka penyebabnya hanya satu itu: rakus. Tak mungkin mereka menerima suap untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Maka, menjadi betul kata anggota DPR itu, menaikkan penghasilan kepala daerah, bukan solusi untuk mencegah korupsi. Korupsi mencul karena para pejabat tak pernah merasa tercukupi. Padahal penghasilannya sudah berlebihan.
Di tengah momentum perubahan Undang-undang Pilkada, kita mendesak publik untuk mewaspadai pasal-pasal yang mungkin hanya menguntungkan segelintir politisi yang sudah kaya-raya itu. Menjadi kepala daerah itu sebuah kehormatan, tanggung jawab, bukan ajang untuk menimbun harta.
Hanya orang-orang tak bermartabat yang berpesta pora di tengah penderitaan sebagian warganya. Adakah yang begitu? Tak lama lagi, figur-figur itu akan muncul di tengah perbincangan perubahan UU Pilkada. (Inilah Koran)
saving score / loading statistics ...