eng
competition

Text Practice Mode

Sunyi dari Kegelapan

created May 10th, 11:37 by Nayy


2


Rating

425 words
74 completed
00:00
Malam itu sudah lewat pukul satu dini hari. Langit terlihat cerah dengan bintang dan bulan sabit sebagai penerang. Hujan tak turun sejak dua hari lalu, namun jalan dikampungku sudah lama tak terlihat, banjir kiriman dari hulu datang sejak empat hari yang lalu, dan terus naik tanpa suara--perlahan. Travel yang kutumpangi tak bisa melanjutkan perjalanan. Aku turun dititik terakhir yang bisa dilewati kendaraan, dengan tas di punggung dan kepala dipenuhi pikiran untuk segera sampai rumah.
 
Beberapa menit kemudian, muncul cahaya redup--sebuah senter dari kejauhan. Ayahku muncul dari balik kegelapan, melangkah perlahan di atas jalan yang sudah menjadi sungai tenang. Sampannya tertambat jauh, di sebuah pohon besar di pinggir jalan, yang kini nyaris hilang. Kami berjalan perlahan, menyusuri jalan yang tak lagi terlihat, celanaku sudah basah hingga lutut.
 
Sampai di sampan, aku naik lebih dulu, duduk dibagian depan, membiarkan Ayah mendorong sedikit lebih maju menuju tempat yang lebih dalam sebelum ikut naik dan mulai mengayuh.Tidak banyak bicara, suara penganyuh dalam air jadi satu-satunya irama yang terdengar, selain serangga malam.
 
Di atas sampan itu, saat kami menyusuri jalan--yang tak lagi terlihat-- menuju rumah, aku mulai mendengar suara. Sayup-sayup, seperti beberapa orang sedang berbincang pelan--samar. Aku pikir, mungkin itu suara pemuda kampung yang biasa berkumpul di pondok dekat simpang rumah. Mungkin mereka sedang berjaga, pikirku.
 
Namun, saat kami mendekat ke pondok itu, ternyata hanya ada kegelapan, dan justru pondok itu nyaris tenggelam sepenuhnya. Kami terus melaju, aku menolah ke Ayah, tak ada yang aneh dari raut Ayahku. Aku juga tak berpikir aneh, mungkin pemuda-pemuda itu sedang berkumpul di tempat lain.
 
Kami pun sampai di rumah. Ibu sudah menunggu di pelantar. Aku naik dari sampan dan membawa semua barang ke rumah. Saat itulah aku baru menyadari suasana terasa benar-benar sunyi. Hening yang mencekam. Hanya terdengar riak air, daun gugur di atas atap rumah, dan suara binatang malam.
 
Kami duduk, setelah suasana sedikit tenang, aku cerita ke Ibu dan Ayah, "Tadi waktu dijemput Ayah, akak dengar orang ngobrol, sepertinya minimal tiga orang. Akak pikir ada yang jaga di pondok. Tapi tadi pondok sepi, bahkan hampir tenggelam."
 
Ibu langsung menjawab pelan, "Ga ada yang ngumpul lagi. Pemuda kampung banyak yang udah ngungsi atau disuruh jaga ternak di bukit." Aku terdiam, mencerna perkataan Ibu. Lalu Ibu menoleh ke Ayah dan bertanya setengah yakin dan sedikit tersenyum, "kalian ditemani, ya?".
 
Ayah hanya melihat Ibu sebentar dn menjawab tenang, "Mungkin. Tiga atau empat orang."
 
Baru saat itu aku sadar, malam itu kami melintasi lautan banjir yang gelap, sepi dan berbahaya. Tapi aku tidak takut sama sekali. Mungkin karena memang ada yang menemani. Bukan cuma Ayahku.

saving score / loading statistics ...