Senandung Rindu yang Tak Tersuarakan Di antara riuh langkah-langkah yang berlalu di koridor senja, ada sepasang mata yang selalu mencari, namun tak pernah berani menyapa. Dialah Arya, pemuda dengan sorot mata sepekat malam yang menyimpan rahasia hati. Dan di ujung pandangannya, ada sosok Kirana—gadis dengan senyum semerbak cahaya fajar, namun terasa sejauh bintang di angkasa. Kisah ini bukan tentang tatap yang bersambut, melainkan rindu yang terkurung dalam sunyi. Setiap pagi, Arya hadir di taman kampus, sekadar berharap dapat mencuri sekilas bayang Kirana yang kerap melangkah di jalan berbatu. Daun-daun gugur menjadi saksi bisu bagaimana namanya bergetar di dada, namun tak pernah berani melintasi bibir. Cinta dalam diam adalah puisi tanpa suara—indah, namun tak terdengar. Suatu senja, saat langit berwarna jingga tembaga, Arya duduk di bangku kayu di bawah pohon flamboyan. Udara sore membawa bisikan angin yang seolah mengeja nama Kirana. Dan seolah semesta memahami gemuruh hatinya, Kirana melintas tak jauh dari sana. Rambutnya yang terurai lembut diterpa angin sore, dan matanya memantulkan cahaya senja yang perlahan meredup. Arya ingin memanggil namanya, namun suaranya terjebak di kerongkongan. Waktu seakan memelankan detaknya. Dunia hanya milik mereka berdua—meski terpisah oleh jarak yang hanya sejangkau lengan. Namun, seolah terikat oleh takdir yang tak berpihak, langkah Kirana kian menjauh, meninggalkan jejak di hati Arya yang tak mungkin terhapus. Di dada pemuda itu, hanya tersisa gemuruh kata-kata yang tak sempat terucap. Malam pun turun, memeluk bumi dengan kesunyian. Di bawah cahaya rembulan yang temaram, Arya menatap langit, mencoba menitipkan rindunya pada bintang-bintang. Sebab, terkadang cinta yang paling tulus bukanlah yang diucapkan dengan kata-kata, melainkan yang tetap bertahan dalam diam, meski tak pernah terbalas.