Text Practice Mode
Firefight - Brandon Sanderson
created Feb 19th, 11:37 by Teza
1
177 words
13 completed
5
Rating visible after 3 or more votes
saving score / loading statistics ...
00:00
Aku menyaksikan Calamity
Waktu itu usiaku eman tahun, berdiri di balkon apartemen kami pada suatu malam. Aku masih ingat bagaimana pendingin ruangan tua berderak di jendela di sampingku, menutupi isakan tangis ayahku. Mesin yang sudah bekerja terlalu keras ini terpasang dengan bagian belakangnya menggantung di atas banyak lantai, meneteskan air seperti keringat dari dahi seseorang yang ingin bunuh diri dengan melompat dari ketinggian. Mesin itu sudah rusak. Mesin itu menghembuskan angin, tapi tidak membuat apa pun lebih dingin. Ibuku sering kali mematikannya.
Setelah dia wafat, ayahku selalu membiarkan pendingin ruangan itu menyala. Katanya, dia merasa lebih dingin saat mesin itu menyala.
Aku memakan es loli yang sudah setengah kumakan dan memicingkan mata, melihat cahaya merah yang janggal, yang terbit bagaikan sebuah bintang baru di cakrawala. Hanya saja tidak ada bintang yang lebih terang atau semerah itu. Merah darah. bintang itu tampak seperti luka tembak berdarah di kubah langit itu sendiri.
Malam itu, Calamity menyelimuti seluruh kota dengan pendaran hangat anehnya. aku berdiri di sana-es loli meleleh, cairan lengket menetes di jemariku-menyaksikan seluruh adegannnya.
Kemudian, jeritan mulai terdengar.
Waktu itu usiaku eman tahun, berdiri di balkon apartemen kami pada suatu malam. Aku masih ingat bagaimana pendingin ruangan tua berderak di jendela di sampingku, menutupi isakan tangis ayahku. Mesin yang sudah bekerja terlalu keras ini terpasang dengan bagian belakangnya menggantung di atas banyak lantai, meneteskan air seperti keringat dari dahi seseorang yang ingin bunuh diri dengan melompat dari ketinggian. Mesin itu sudah rusak. Mesin itu menghembuskan angin, tapi tidak membuat apa pun lebih dingin. Ibuku sering kali mematikannya.
Setelah dia wafat, ayahku selalu membiarkan pendingin ruangan itu menyala. Katanya, dia merasa lebih dingin saat mesin itu menyala.
Aku memakan es loli yang sudah setengah kumakan dan memicingkan mata, melihat cahaya merah yang janggal, yang terbit bagaikan sebuah bintang baru di cakrawala. Hanya saja tidak ada bintang yang lebih terang atau semerah itu. Merah darah. bintang itu tampak seperti luka tembak berdarah di kubah langit itu sendiri.
Malam itu, Calamity menyelimuti seluruh kota dengan pendaran hangat anehnya. aku berdiri di sana-es loli meleleh, cairan lengket menetes di jemariku-menyaksikan seluruh adegannnya.
Kemudian, jeritan mulai terdengar.
