Text Practice Mode
YANG LEMAH JGN MASUK!!!
created Aug 15th 2023, 12:35 by KinjengS
0
1162 words
2 completed
0
Rating visible after 3 or more votes
00:00
kebebasan berpendapat antara hoaks dan bayang-bayang undang-undang ite
Jika berbicara mengenai kebebasan berpendapat, seharusnya timbul rasa lega dan bahagia, mengingat persoalan ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dicapai dan perlu perjuangan panjang untuk merealisasikannya. Tentunya kebahagiaan itu akan ada ketika kebebasan berpendapat dan berekspresi ini diterapkan dengan sebagaimana mestinya. Namun, tampaknya yang terjadi pada kenyataannya kini justru sebaliknya. Berbagai masalah mengenai hal ini seringkali bermunculan dan hampir pasti berujung dengan lahirnya keributan di tengah masyarakat.
Secara garis besar, ada dua jenis permasalahan yang selalu terjadi karena kebebasan berpendapat ini. Pertama, yaitu adanya oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan hak kebebasan ini dan menjadikannya tameng untuk menyebarkan informasi-informasi tidak berdasar atau lebih sering disebut hoaks yang kemudian tentu menggiring opini publik. Hal ini membuat keberadaan kebebasan berpendapat seakan menjadi bumerang, ketika tujuan awalnya demi untuk membuat hidup manusia menjadi lebih baik, justru masalah baru lahir dan semakin membuat rumit. Pun yang kedua, yaitu keberadaan kebebasan berpendapat yang terasa hanya seperti ilusi belaka. Berbagai batasan yang mengatur berjalannya penerapan hak ini justru terkesan membelenggu dan dalam praktiknya acap kali seperti salah sasaran. Hal-hal penting kerap diabaikan, tetapi hal yang jelas-jelas 'sepele', yang seringkali bahkan tidak perlu untuk diperkarakan, justru dikupas habis hingga membuat masyarakat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Terlebih setelah dikeluarkannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hak masyarakat akan kebebasan berekspresi semakin terancam.
Jika diperhatikan, ada begitu banyak kejanggalan yang terjadi dalam hal ini. Mengapa hoaks masih saja tersebar dimana-mana, tetapi kebebasan berpendapat justru semakin terancam? Mengapa berbagai peraturan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dalam berekspresi, justru berbalik menyerang dan mengintimidasi? Seakan jika siapapun berani berpendapat kritis sekali saja, ia harus segera bersiap menerima ganjarannya. Kemanakah perginya jaminan mengemukakan pendapat secara bebas yang dengan begitu jelas tertera di berbagai Undang-undang negara ini? Sebut saja Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945, Pasal 23 Ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 Angka 1 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dan masih banyak lagi.
Sebagian besar orang pasti akan kebingungan melihat hoaks yang sangat bertebaran dimana-mana, bahkan tidak jarang yang menyebut hal tersebut sebagai kurang kerjaan. Namun, tentu oknum-oknum tersebut melakukan perbuatan ini bukan tanpa tujuan. Akan selalu ada kepentingan dibalik hoaks yang disebarkan di ruang publik. Kepentingan yang dimaksud pun bermacam-macam, tetapi sebagian besar akan mengarah ke ranah politik. Catatan Kominfo memaparkan bahwa terdapat 1.731 hoaks yang menyebar selama Agustus 2018 sampai dengan April 2019, dengan jumlah hoaks terbanyak terjadi pada April 2019, yaitu 486 hoaks. Hasil ini tentu sangat berhubungan erat dengan fakta bahwa April 2019 merupakan bulan diselenggarakannya pemilu serentak di seluruh Indonesia. Juga kini ditengah masa merebaknya pandemi Covid-19, penyebaran hoaks sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Kominfo menuturkan bahwa per 27 April 2020, jumlah hoaks terkait pandemi Covid-19 mencapai angka 600. Sebagian besar penyebaran berita tidak berdasar ini diketahui bersumber dari aplikasi WhatsApp, yang memang sudah memiliki riwayat sangat panjang perihal kasus yang berkaitan dengan hoaks.
Dari total 600 hoaks yang tercatat, diantaranya ialah seperti penyebaran video satu keluarga di Kecamatan Medan Denai yang disebut diusir dari rumah kontrakannya dan sudah tidak makan berhari-hari karena wabah Covid-19, penyebaran pesan berantai mengenai dua kakak beradik yang katanya terjangkit Covid-19 di daerah Tangerang setelah mereka kembali dari bermain di luar rumah, dan pernyataan umat muslim kebal corona, juga ungkapan bahwa corona disebut dalam ayat Al'Quran. Setelah semuanya diusut, tidak ada yang benar-benar bisa terbukti secara jelas.
Kita tentu sudah sangat lelah mendengar hoaks yang terus bermunculan dari hari kehari, tetapi sayangnya oknum-oknum tersebut tidak akan semudah itu berhenti. Salah seorang pengamat TIK dari CISSRec bernama Pratama Persadha menuturkan bahwa menyebarnya hoaks ini dikarenakan ulah para buzzer yang memiliki tujuan untuk menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Senada dengan Pratama, seorang Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia bernama Firman Kurniawan juga mengatakan bahwa para penyebar hoaks tersebut hendak memancing kepanikan, kebencian, hingga gerakan sosial. Keduanya mengatakan bahwa perbuatan ini dapat mengarah ke tujuan politis, yang bermaksud untuk mengguncang pemerintahan dengan memanfaatkan momentum yang ada. Pun juga tersebar luas berbagai hoaks lainnya dengan tujuan yang bukan untuk mengguncang pemerintahan, tetapi justru sebaliknya, untuk melindungi para penguasa. Lagi-lagi, kasus hoaks tidak akan pernah bisa jauh dari unsur politik.
Lalu bagaimana dengan penanganan berbagai kasus hoaks ini? Sepertinya bagi pemerintah ada yang jauh lebih penting. UU ITE yang seharusnya digunakan untuk mengawasi hoaks dan kebebasan berpendapat di internet justru dijadikan alat oleh para penguasa untuk menjaga nama baik dan citranya. Pasal yang aturannya diperlebar oleh pemerintah bukan hoaks, tetapi justru pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Siapapun yang melakukan penyebaran informasi yang memiliki unsur pencemaran nama baik berpeluang mendekam di penjara selama empat tahun. Meskipun Kominfo tegas menyatakan bahwa pasal tersebut sungguh dibutuhkan agar rakyat tidak saling bertengkar disebabkan informasi yang menyerang pribadi, pada pengaplikasiannya justru berbanding terbalik.
Pertengkaran yang terjadi justru ialah antara pihak rakyat dengan para pejabat. Tercatat bahwa UU ITE Pasal 27 ayat 3 menjadi pasal yang paling banyak digunakan para pejabat untuk menghubungkannya dengan ujaran kebencian. Menurut data dari SAFENet 2008-2018, sebanyak 35,92% pengaduan dengan UU ITE bersumber dari para pejabat negara. Sikap pemerintah dalam menangani hoaks justru seringkali berujung membungkam dan membelenggu kebebasan berpendapat yang dimiliki masyarakat. Koordinator SAFEnet, bernama Damar Juniarto pun mengungkapkan bahwa mungkin saja pemberantasan yang dilakukan justru ditujukan kepada mereka-mereka yang berani mengkritik kebijakan pemerintah.
Bukti nyata yang terjadi baru-baru ini ialah kasus Ravio Patra, yang ditangkap atas dugaan berbuat onar, penghasutan, dan ujaran kebencian. Ia diduga menyebarkan ajakan berupa sebuah pesan di WhatsApp untuk melakukan penjarahan. Akan tetapi, pihak Ravio mengklaim bahwa nomor WhatsApp dari yang bersangkutan telah diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ravio Patra sendiri adalah seorang peneliti di bidang kebijakan publik, keterbukaan informasi, dan demokrasi. Ia memang dikenal gencar untuk mengkritisi berbagai hal dari kebijakan pemerintah. Mulai dari menyorot dugaan konflik kepentingan para staf khusus Presiden Joko Widodo, permasalahan industri pendengung atau buzzer, hingga UU ITE atau lebih sering disebut dengan pasal karet. Melihat fakta ini, tentu akan terasa ada yang janggal karena muncul dugaan bahwa ini merupakan salah satu cara untuk membungkam arus kritik kepada pemerintah. Bahkan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa kasus Ravio ini menjadi simbol pemasungan kebebasan berpendapat.
Melihat begitu mirisnya nasib kebebasan berpendapat di Indonesia, dapat dipastikan bahwa kita tidak memiliki pilihan lain selain terus berjuang. Berjuang untuk hak yang memang sudah seharusnya dimiliki setiap orang. Mengharapkan hoaks dan para buzzer untuk hilang secara tiba-tiba tentunya terdengar mustahil, begitu juga dengan mengharapkan setiap peraturan perundang-undangan yang ada terlebih UU ITE untuk dapat diterapkan dengan sebagaimana mestinya dalam waktu dekat pun sungguh terdengar seperti mimpi. Namun, setidaknya memercayai bahwa semua itu mungkin dan butuh proses tidak apa-apa bukan? Mari kita mencoba memberi kontribusi sesuai kapasitas masing-masing. Mencoba meminimalkan penyebaran hoaks dengan selalu kritis dan waspada dalam menerima informasi, terus mengawal kinerja pemerintah dalam hal penerapan kebijakan dan peraturan perundang-undangan mengenai hak dalam berekspresi, dan dengan tidak membiarkan diri untuk pasrah dan terus dibungkam oleh pihak manapun. Karena perubahan akan ada, ketika tekad terus mengudara, dan tindakan senantiasa dijalankan.
https://kema.unpad.ac.id/
Jika berbicara mengenai kebebasan berpendapat, seharusnya timbul rasa lega dan bahagia, mengingat persoalan ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dicapai dan perlu perjuangan panjang untuk merealisasikannya. Tentunya kebahagiaan itu akan ada ketika kebebasan berpendapat dan berekspresi ini diterapkan dengan sebagaimana mestinya. Namun, tampaknya yang terjadi pada kenyataannya kini justru sebaliknya. Berbagai masalah mengenai hal ini seringkali bermunculan dan hampir pasti berujung dengan lahirnya keributan di tengah masyarakat.
Secara garis besar, ada dua jenis permasalahan yang selalu terjadi karena kebebasan berpendapat ini. Pertama, yaitu adanya oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan hak kebebasan ini dan menjadikannya tameng untuk menyebarkan informasi-informasi tidak berdasar atau lebih sering disebut hoaks yang kemudian tentu menggiring opini publik. Hal ini membuat keberadaan kebebasan berpendapat seakan menjadi bumerang, ketika tujuan awalnya demi untuk membuat hidup manusia menjadi lebih baik, justru masalah baru lahir dan semakin membuat rumit. Pun yang kedua, yaitu keberadaan kebebasan berpendapat yang terasa hanya seperti ilusi belaka. Berbagai batasan yang mengatur berjalannya penerapan hak ini justru terkesan membelenggu dan dalam praktiknya acap kali seperti salah sasaran. Hal-hal penting kerap diabaikan, tetapi hal yang jelas-jelas 'sepele', yang seringkali bahkan tidak perlu untuk diperkarakan, justru dikupas habis hingga membuat masyarakat hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Terlebih setelah dikeluarkannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hak masyarakat akan kebebasan berekspresi semakin terancam.
Jika diperhatikan, ada begitu banyak kejanggalan yang terjadi dalam hal ini. Mengapa hoaks masih saja tersebar dimana-mana, tetapi kebebasan berpendapat justru semakin terancam? Mengapa berbagai peraturan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dalam berekspresi, justru berbalik menyerang dan mengintimidasi? Seakan jika siapapun berani berpendapat kritis sekali saja, ia harus segera bersiap menerima ganjarannya. Kemanakah perginya jaminan mengemukakan pendapat secara bebas yang dengan begitu jelas tertera di berbagai Undang-undang negara ini? Sebut saja Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945, Pasal 23 Ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 Angka 1 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dan masih banyak lagi.
Sebagian besar orang pasti akan kebingungan melihat hoaks yang sangat bertebaran dimana-mana, bahkan tidak jarang yang menyebut hal tersebut sebagai kurang kerjaan. Namun, tentu oknum-oknum tersebut melakukan perbuatan ini bukan tanpa tujuan. Akan selalu ada kepentingan dibalik hoaks yang disebarkan di ruang publik. Kepentingan yang dimaksud pun bermacam-macam, tetapi sebagian besar akan mengarah ke ranah politik. Catatan Kominfo memaparkan bahwa terdapat 1.731 hoaks yang menyebar selama Agustus 2018 sampai dengan April 2019, dengan jumlah hoaks terbanyak terjadi pada April 2019, yaitu 486 hoaks. Hasil ini tentu sangat berhubungan erat dengan fakta bahwa April 2019 merupakan bulan diselenggarakannya pemilu serentak di seluruh Indonesia. Juga kini ditengah masa merebaknya pandemi Covid-19, penyebaran hoaks sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Kominfo menuturkan bahwa per 27 April 2020, jumlah hoaks terkait pandemi Covid-19 mencapai angka 600. Sebagian besar penyebaran berita tidak berdasar ini diketahui bersumber dari aplikasi WhatsApp, yang memang sudah memiliki riwayat sangat panjang perihal kasus yang berkaitan dengan hoaks.
Dari total 600 hoaks yang tercatat, diantaranya ialah seperti penyebaran video satu keluarga di Kecamatan Medan Denai yang disebut diusir dari rumah kontrakannya dan sudah tidak makan berhari-hari karena wabah Covid-19, penyebaran pesan berantai mengenai dua kakak beradik yang katanya terjangkit Covid-19 di daerah Tangerang setelah mereka kembali dari bermain di luar rumah, dan pernyataan umat muslim kebal corona, juga ungkapan bahwa corona disebut dalam ayat Al'Quran. Setelah semuanya diusut, tidak ada yang benar-benar bisa terbukti secara jelas.
Kita tentu sudah sangat lelah mendengar hoaks yang terus bermunculan dari hari kehari, tetapi sayangnya oknum-oknum tersebut tidak akan semudah itu berhenti. Salah seorang pengamat TIK dari CISSRec bernama Pratama Persadha menuturkan bahwa menyebarnya hoaks ini dikarenakan ulah para buzzer yang memiliki tujuan untuk menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Senada dengan Pratama, seorang Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia bernama Firman Kurniawan juga mengatakan bahwa para penyebar hoaks tersebut hendak memancing kepanikan, kebencian, hingga gerakan sosial. Keduanya mengatakan bahwa perbuatan ini dapat mengarah ke tujuan politis, yang bermaksud untuk mengguncang pemerintahan dengan memanfaatkan momentum yang ada. Pun juga tersebar luas berbagai hoaks lainnya dengan tujuan yang bukan untuk mengguncang pemerintahan, tetapi justru sebaliknya, untuk melindungi para penguasa. Lagi-lagi, kasus hoaks tidak akan pernah bisa jauh dari unsur politik.
Lalu bagaimana dengan penanganan berbagai kasus hoaks ini? Sepertinya bagi pemerintah ada yang jauh lebih penting. UU ITE yang seharusnya digunakan untuk mengawasi hoaks dan kebebasan berpendapat di internet justru dijadikan alat oleh para penguasa untuk menjaga nama baik dan citranya. Pasal yang aturannya diperlebar oleh pemerintah bukan hoaks, tetapi justru pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Siapapun yang melakukan penyebaran informasi yang memiliki unsur pencemaran nama baik berpeluang mendekam di penjara selama empat tahun. Meskipun Kominfo tegas menyatakan bahwa pasal tersebut sungguh dibutuhkan agar rakyat tidak saling bertengkar disebabkan informasi yang menyerang pribadi, pada pengaplikasiannya justru berbanding terbalik.
Pertengkaran yang terjadi justru ialah antara pihak rakyat dengan para pejabat. Tercatat bahwa UU ITE Pasal 27 ayat 3 menjadi pasal yang paling banyak digunakan para pejabat untuk menghubungkannya dengan ujaran kebencian. Menurut data dari SAFENet 2008-2018, sebanyak 35,92% pengaduan dengan UU ITE bersumber dari para pejabat negara. Sikap pemerintah dalam menangani hoaks justru seringkali berujung membungkam dan membelenggu kebebasan berpendapat yang dimiliki masyarakat. Koordinator SAFEnet, bernama Damar Juniarto pun mengungkapkan bahwa mungkin saja pemberantasan yang dilakukan justru ditujukan kepada mereka-mereka yang berani mengkritik kebijakan pemerintah.
Bukti nyata yang terjadi baru-baru ini ialah kasus Ravio Patra, yang ditangkap atas dugaan berbuat onar, penghasutan, dan ujaran kebencian. Ia diduga menyebarkan ajakan berupa sebuah pesan di WhatsApp untuk melakukan penjarahan. Akan tetapi, pihak Ravio mengklaim bahwa nomor WhatsApp dari yang bersangkutan telah diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ravio Patra sendiri adalah seorang peneliti di bidang kebijakan publik, keterbukaan informasi, dan demokrasi. Ia memang dikenal gencar untuk mengkritisi berbagai hal dari kebijakan pemerintah. Mulai dari menyorot dugaan konflik kepentingan para staf khusus Presiden Joko Widodo, permasalahan industri pendengung atau buzzer, hingga UU ITE atau lebih sering disebut dengan pasal karet. Melihat fakta ini, tentu akan terasa ada yang janggal karena muncul dugaan bahwa ini merupakan salah satu cara untuk membungkam arus kritik kepada pemerintah. Bahkan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa kasus Ravio ini menjadi simbol pemasungan kebebasan berpendapat.
Melihat begitu mirisnya nasib kebebasan berpendapat di Indonesia, dapat dipastikan bahwa kita tidak memiliki pilihan lain selain terus berjuang. Berjuang untuk hak yang memang sudah seharusnya dimiliki setiap orang. Mengharapkan hoaks dan para buzzer untuk hilang secara tiba-tiba tentunya terdengar mustahil, begitu juga dengan mengharapkan setiap peraturan perundang-undangan yang ada terlebih UU ITE untuk dapat diterapkan dengan sebagaimana mestinya dalam waktu dekat pun sungguh terdengar seperti mimpi. Namun, setidaknya memercayai bahwa semua itu mungkin dan butuh proses tidak apa-apa bukan? Mari kita mencoba memberi kontribusi sesuai kapasitas masing-masing. Mencoba meminimalkan penyebaran hoaks dengan selalu kritis dan waspada dalam menerima informasi, terus mengawal kinerja pemerintah dalam hal penerapan kebijakan dan peraturan perundang-undangan mengenai hak dalam berekspresi, dan dengan tidak membiarkan diri untuk pasrah dan terus dibungkam oleh pihak manapun. Karena perubahan akan ada, ketika tekad terus mengudara, dan tindakan senantiasa dijalankan.
https://kema.unpad.ac.id/
saving score / loading statistics ...