Text Practice Mode
Tiga Pertanyaan Mendasar Manusia (1)
created Apr 8th 2018, 05:03 by Ariella
2
1231 words
8 completed
5
Rating visible after 3 or more votes
00:00
Di saat manusia beranjak dewasa yang ditandai oleh kesempurnaan akalnya,tiga pertanyaan mendasar tentang kehidupan akan terlintas di benaknya. Tiga pertanyaan ini sangat mempengaruhi arah dan tujuan hidup manusia, dan manusia pun bertindak serta bertingkah laku berdasarkan kepada apa yang dipahaminya tentang tiga pertanyaan ini.
Jika kita mengamati berbagai jenis cerita yang ditampilkan di layar kaca maupun layar lebar, banyak diantara tokoh utama menjawab tiga pertanyaan ini dengan cara yang berbeda. Terlihat dengan perbedaan pandangan yang mereka gunakan dalam memecah permasalahannya.
Adapun tiga pertanyaan tersebut ialah:
1. Dari manakah manusia dan kehidupan ini?
2. Untuk apa manusia dan kehidupan ini diciptakan?
3. Akan kemanakah manusia dan kehidupan ini?
Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, terlepas dari jawabannya benar atau salah. Selanjutnya ia berjalan di dunia ini dengan landasan tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar landasan itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti landasan tersebut.
Banyak jawaban yang diutarakan manusia pada tiga pertanyaan ini. Namun hanya ada dua jawaban yang berpengaruh besar dalam kehidupan manusia.
Seseorang yang menjawab tiga pertanyaan mendasar dengan jawaban:
“Kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah atau materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi atau benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”.
Maka ia akan hidup dengan aturan yang ia buat, dan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Hingga ia berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dan sebagainya). Karena ia berpandangan bahwa kehidupan berawal dan berakhir dari materi.
Jika seseorang atau sekelompok orang menjawab :
“Dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas atau amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”.
Maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal (perbuatan) yang harus ia pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Jika kita amati kedua jawaban diatas adalah jawaban yang sangat bertolak belakang. Lalu bagaimana manusia menjawab tiga pertanyaan ini? Apakah ada jawaban yang benar diantara jawaban tersebut? Saya dipertemukan dengan cara yang menarik untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut. Mari kita simak paragraf berikut ini.
"Uqdatul Qubra" merupakan nama lain dari tiga pertanyaan dasar manusia tentang kehidupan. Secara bahasa Uqdatul Qubra berarti masalah atau simpul besar. Banyak juga diartikan sebagai simpul kehidupan yang sangat besar.
Dalam Islam pemecahan "uqdatul qubra" tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan), dan (3) kehidupan (Al hayaah) serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan ini. Pemecahan uqdatul qubra juga yang menjadi jalan seorang manusia untuk mencapai keimanannya.
1. Proses Keimanan terhadap Al-Kholiq (Sang Pencipta)
Apakah Tuhan itu tidak ada? Apa kita bisa membuktikan jika Tuhan itu tidak ada? Alam semesta, kehidupan, dan manusia memiliki satu sifat yang sama, yaitu keterbatasan. Karena keterbatasan inilah alam semesta, kehidupan, dan manusia membutuhkan "sesuatu" yang dapat dijadikan sebagai sokongan atau sandaran.
Jika manusia bersandar kepada banyak hal seperti air, udara, tumbuhan, bumi, dan sebagainya. Lalu bersandar kemanakah alam semesta dan seisinya? Sangat jelas bahwa semua ini membutuhkan "sesuatu yang lain" yang lebih hebat yang menjadi tempat bersandar yang tidak menyandarkan dirinya pada lain. Inilah yang disebut sebagai Al-Khaliq atau Sang Pencipta.
Dalam menentukan sifat Al-Khaliq ini ada tiga kemungkinan,
Pertama, Al-Khaliq diciptakan oleh zat yang lain. Akan timbul pertanyaan: Siapa yang menciptakan sang pencipta yang menciptakan semua ini? Siapa yang menciptakan sang pencipta dari sang pencipta? Dan terus pertanyaannya berlajut seperti itu. hingga kembali ke pembahasan awal. Maka kemungkinan ini salah.
Kedua, Al-Khaliq menciptakan dirinya sendiri. Kemungkinan kedua juga tidak rasional. Tidak mungkin sifat makhluk yang terbatas dicampur adukan dengan sifat sang Khaliq tidak terbatas.
Ketiga, Ia bersifat azali (tidak berawal dan tidak memiliki permulaan), wajibul wujud dan mutlak keberadaannya, dialah Allah SWT.
Iman kepada sang Khaliq ini merupakan sesuatu hal yang fitri dalam diri setiap manusia, yang datang dari perasaan hati yang ikhlas, akan tetapi perasaan hati ini sering menambah-nambah atas apa yang diimani dengan sesuatu yang berwujud sehingga dapat menjerumuskan kearah kesesatan / kekufuran. Oleh karenanya Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam mengajarkan untuk tidak mempertanyakan atau mencoba mengindera tentang dzat Allah (sifat-sifat) secara langsung, tetapi memeritahkan kita untuk memahami dzat Allah melalui keberadaan ciptaan-ciptaanNya (QS. Ali-Imron (3): 190). Ini dikarenakan keterbatasan kemampuan indera manusia yang tidak akan sanggup menginder dzat Allah kecuali melalui ciptaanNya.
Karena sejatinya manusia hanya dapat berfikir dan berimajinasi terbatas terhadap segala hal yang pernah di-indera-nya. Sedangkan Al Khaliq tidak akan pernah sama dengan makhluk yang diciptakanNya. Maka sangat rasional ketika Islam melarang manusia untuk mempertanyakan atau mencoba mengindera tentang dzat Allah.
Hanya ada satu jalan untuk mengenal dzat Allah (sifat-sifatNya) yang tidak lain adalah menerima informasi atas sifat-sifat Allah dari Sang Khaliq sendiri. Bagaimana Allah menyampaikan informasi dan yang lain kepada manusia? Mari kita lihat ke pembahasan berikut ini.
2. Proses Keimanan terhadap Rasul
Setelah kita mengimani sang Khaliq, maka kita selanjutnya melakukan pen-taqdis-an (pengagungan atau pensucian) yang selanjutnya kita kenal sebagai ibadah yang merupakan tali penghubung antara manusia dan PenciptaNya.
Apabila ibadah ini dibiarkan dengan sendirinya tanpa ada aturan, maka yang ada adalah kekacauan dan penyembahan dari selain dari pencipta yang sebenarnya.
Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur ini dengan baik, hanya saja aturan ini harus datang dari Al-Khaliq ke tangan manusia, maka tidak-boleh tidak, harus ada yang menyampaikan agama ini. Dan yang menyampaikannya harus dapat dapat dimengerti oleh manusia. Maka sosok yang paling sempurna yang dapat menyampaikan aturan yaitu manusia.
Namun sebagai utusan Allah, hanya manusia yang terbaik yang telah Allah pilih dan terlepas dari kesalahan manusia biasa. Inilah yang disebut dengan Rasul.
Kenapa Allah tidak datang atau turun langsung memberikan aturan-aturan tersebut? Karena adanya keterbatasan indera manusia, niscaya, manusia tidak akan sanggup untuk berhadapan langsung dengan Sang Khaliq.
Oleh karenanya, dalam Islam, tidak pernah ada istilah Tuhan turun ke bumi ataupun manusia / rasul menjadi Tuhan, karena Rasul itu jelas hanya seorang manusia yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan agama Allah.
Lalu diantara banyaknya manusia bagaimakah kita menemukan Rasul yang benar dari sekian banyaknya manusia yang mengakui dirinya sebagai utusan Allah? Mari kita simak pembahasan selanjutnya.
3. Proses Keimanan terhadap Al-Qur'an Kalamullah
Jika seseorang menjelajahi sebuah pulau dengan sebuah peta. Yang pertama kali ia lakukan adalah membuktikan kebenaran dari peta yang ia gunakan berdasarkan fakta yang ia dapat.
Cara ini yang digunakan bagi orang awan untuk membuktikan kebenaran al-Quran. Bahasa Arab dapat dijadikan sebagai sebuah fakta dari al-Quran ini. Maka dapat diambil tiga kemungkinan, yaitu:
(1) Al-Quran dibuat oleh orang Arab
Bagi para ahli bahasa khususnya bahasa Arab tentu akan mengerti tingkat kesulitan bahasa yang digunakan dalam al Quran. Tidak hanya kesulitan mereka juga menemukan keindahan. Bahkan keindahan bahasa ini jauh lebih tinggi dari keindahan seluruh sastra yang bisa dibuat oleh orang-orang arab.
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 23).
Mana mungkin al-Quran dibuat oleh orang arab sedangkan al-Quran sendiri menentang seluruh ahli bahasa arab untuk membuat yang serupa dengan isi al-Quran? Maka kemungkinan bahwa Al-Quran dibuat oleh orang arab adalah salah.
(berlanjut ke bagian kedua)
Jika kita mengamati berbagai jenis cerita yang ditampilkan di layar kaca maupun layar lebar, banyak diantara tokoh utama menjawab tiga pertanyaan ini dengan cara yang berbeda. Terlihat dengan perbedaan pandangan yang mereka gunakan dalam memecah permasalahannya.
Adapun tiga pertanyaan tersebut ialah:
1. Dari manakah manusia dan kehidupan ini?
2. Untuk apa manusia dan kehidupan ini diciptakan?
3. Akan kemanakah manusia dan kehidupan ini?
Bila pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, terlepas dari jawabannya benar atau salah. Selanjutnya ia berjalan di dunia ini dengan landasan tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar landasan itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti landasan tersebut.
Banyak jawaban yang diutarakan manusia pada tiga pertanyaan ini. Namun hanya ada dua jawaban yang berpengaruh besar dalam kehidupan manusia.
Seseorang yang menjawab tiga pertanyaan mendasar dengan jawaban:
“Kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya, manusia berasal dari tanah atau materi dan kelak akan kembali lagi menjadi materi atau benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup”.
Maka ia akan hidup dengan aturan yang ia buat, dan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Hingga ia berbudaya, berekonomi dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup. Tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat, pahala-dosa dan sebagainya). Karena ia berpandangan bahwa kehidupan berawal dan berakhir dari materi.
Jika seseorang atau sekelompok orang menjawab :
“Dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas atau amanah kehidupan pada manusia dan kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh perbuatannya di dunia”.
Maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya, berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya. Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi standar amal (perbuatan) yang harus ia pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Jika kita amati kedua jawaban diatas adalah jawaban yang sangat bertolak belakang. Lalu bagaimana manusia menjawab tiga pertanyaan ini? Apakah ada jawaban yang benar diantara jawaban tersebut? Saya dipertemukan dengan cara yang menarik untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut. Mari kita simak paragraf berikut ini.
"Uqdatul Qubra" merupakan nama lain dari tiga pertanyaan dasar manusia tentang kehidupan. Secara bahasa Uqdatul Qubra berarti masalah atau simpul besar. Banyak juga diartikan sebagai simpul kehidupan yang sangat besar.
Dalam Islam pemecahan "uqdatul qubra" tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran yang jernih dan menyeluruh tentang (1) alam semesta (al kaun), (2) manusia (al insan), dan (3) kehidupan (Al hayaah) serta hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan ini. Pemecahan uqdatul qubra juga yang menjadi jalan seorang manusia untuk mencapai keimanannya.
1. Proses Keimanan terhadap Al-Kholiq (Sang Pencipta)
Apakah Tuhan itu tidak ada? Apa kita bisa membuktikan jika Tuhan itu tidak ada? Alam semesta, kehidupan, dan manusia memiliki satu sifat yang sama, yaitu keterbatasan. Karena keterbatasan inilah alam semesta, kehidupan, dan manusia membutuhkan "sesuatu" yang dapat dijadikan sebagai sokongan atau sandaran.
Jika manusia bersandar kepada banyak hal seperti air, udara, tumbuhan, bumi, dan sebagainya. Lalu bersandar kemanakah alam semesta dan seisinya? Sangat jelas bahwa semua ini membutuhkan "sesuatu yang lain" yang lebih hebat yang menjadi tempat bersandar yang tidak menyandarkan dirinya pada lain. Inilah yang disebut sebagai Al-Khaliq atau Sang Pencipta.
Dalam menentukan sifat Al-Khaliq ini ada tiga kemungkinan,
Pertama, Al-Khaliq diciptakan oleh zat yang lain. Akan timbul pertanyaan: Siapa yang menciptakan sang pencipta yang menciptakan semua ini? Siapa yang menciptakan sang pencipta dari sang pencipta? Dan terus pertanyaannya berlajut seperti itu. hingga kembali ke pembahasan awal. Maka kemungkinan ini salah.
Kedua, Al-Khaliq menciptakan dirinya sendiri. Kemungkinan kedua juga tidak rasional. Tidak mungkin sifat makhluk yang terbatas dicampur adukan dengan sifat sang Khaliq tidak terbatas.
Ketiga, Ia bersifat azali (tidak berawal dan tidak memiliki permulaan), wajibul wujud dan mutlak keberadaannya, dialah Allah SWT.
Iman kepada sang Khaliq ini merupakan sesuatu hal yang fitri dalam diri setiap manusia, yang datang dari perasaan hati yang ikhlas, akan tetapi perasaan hati ini sering menambah-nambah atas apa yang diimani dengan sesuatu yang berwujud sehingga dapat menjerumuskan kearah kesesatan / kekufuran. Oleh karenanya Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam mengajarkan untuk tidak mempertanyakan atau mencoba mengindera tentang dzat Allah (sifat-sifat) secara langsung, tetapi memeritahkan kita untuk memahami dzat Allah melalui keberadaan ciptaan-ciptaanNya (QS. Ali-Imron (3): 190). Ini dikarenakan keterbatasan kemampuan indera manusia yang tidak akan sanggup menginder dzat Allah kecuali melalui ciptaanNya.
Karena sejatinya manusia hanya dapat berfikir dan berimajinasi terbatas terhadap segala hal yang pernah di-indera-nya. Sedangkan Al Khaliq tidak akan pernah sama dengan makhluk yang diciptakanNya. Maka sangat rasional ketika Islam melarang manusia untuk mempertanyakan atau mencoba mengindera tentang dzat Allah.
Hanya ada satu jalan untuk mengenal dzat Allah (sifat-sifatNya) yang tidak lain adalah menerima informasi atas sifat-sifat Allah dari Sang Khaliq sendiri. Bagaimana Allah menyampaikan informasi dan yang lain kepada manusia? Mari kita lihat ke pembahasan berikut ini.
2. Proses Keimanan terhadap Rasul
Setelah kita mengimani sang Khaliq, maka kita selanjutnya melakukan pen-taqdis-an (pengagungan atau pensucian) yang selanjutnya kita kenal sebagai ibadah yang merupakan tali penghubung antara manusia dan PenciptaNya.
Apabila ibadah ini dibiarkan dengan sendirinya tanpa ada aturan, maka yang ada adalah kekacauan dan penyembahan dari selain dari pencipta yang sebenarnya.
Jadi harus ada aturan tertentu yang mengatur ini dengan baik, hanya saja aturan ini harus datang dari Al-Khaliq ke tangan manusia, maka tidak-boleh tidak, harus ada yang menyampaikan agama ini. Dan yang menyampaikannya harus dapat dapat dimengerti oleh manusia. Maka sosok yang paling sempurna yang dapat menyampaikan aturan yaitu manusia.
Namun sebagai utusan Allah, hanya manusia yang terbaik yang telah Allah pilih dan terlepas dari kesalahan manusia biasa. Inilah yang disebut dengan Rasul.
Kenapa Allah tidak datang atau turun langsung memberikan aturan-aturan tersebut? Karena adanya keterbatasan indera manusia, niscaya, manusia tidak akan sanggup untuk berhadapan langsung dengan Sang Khaliq.
Oleh karenanya, dalam Islam, tidak pernah ada istilah Tuhan turun ke bumi ataupun manusia / rasul menjadi Tuhan, karena Rasul itu jelas hanya seorang manusia yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan agama Allah.
Lalu diantara banyaknya manusia bagaimakah kita menemukan Rasul yang benar dari sekian banyaknya manusia yang mengakui dirinya sebagai utusan Allah? Mari kita simak pembahasan selanjutnya.
3. Proses Keimanan terhadap Al-Qur'an Kalamullah
Jika seseorang menjelajahi sebuah pulau dengan sebuah peta. Yang pertama kali ia lakukan adalah membuktikan kebenaran dari peta yang ia gunakan berdasarkan fakta yang ia dapat.
Cara ini yang digunakan bagi orang awan untuk membuktikan kebenaran al-Quran. Bahasa Arab dapat dijadikan sebagai sebuah fakta dari al-Quran ini. Maka dapat diambil tiga kemungkinan, yaitu:
(1) Al-Quran dibuat oleh orang Arab
Bagi para ahli bahasa khususnya bahasa Arab tentu akan mengerti tingkat kesulitan bahasa yang digunakan dalam al Quran. Tidak hanya kesulitan mereka juga menemukan keindahan. Bahkan keindahan bahasa ini jauh lebih tinggi dari keindahan seluruh sastra yang bisa dibuat oleh orang-orang arab.
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 23).
Mana mungkin al-Quran dibuat oleh orang arab sedangkan al-Quran sendiri menentang seluruh ahli bahasa arab untuk membuat yang serupa dengan isi al-Quran? Maka kemungkinan bahwa Al-Quran dibuat oleh orang arab adalah salah.
(berlanjut ke bagian kedua)
saving score / loading statistics ...